Thursday, January 31, 2008

Can organic feed the world?

by: Ikhsan hasibuan

Ini adalah pertanyaan paling sering diajukan. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini karena organic farming system baru saja dimulai dan hanya mencakup sekitar 1% dari seluruh lahan pertanian. Di indonesia luas lahan organic farming kurang dari 0.1% dari total area pertanian. Pertanyaan yang lebih realistic adalah Can conventional farming feed the world ? .

Pertanyaan ini lebih mudah dijawab karna banyak tersedia data-data dan kita sendiri telah mengalaminya. Kita sama tahu bahwa ada milyaran orang hidup di dunia ini, sebagian bisa hidup tercukupi terutama di developing countries, namun kita juga sama tahu kelaparan ada dimana-dimana di hampir setiap waktu, di Afrika misalnya, di Indonesia juga ada. Hanya ada sekitar 16% dari penduduk dunia yang bisa menikmati pemenuhan kebutuhan hidup primer, selebihnya sangat menyedihkan. Isu terakhir adalah tentang langkanya kedelai di negara kita.

Apa artinya? pertanian konvensional tidak bisa mensuplai bahan makanan dalam jumlah cukup secara terus menerus. Ujung tombak pemenuhan produksi tergantung pada jumlah pembukaan lahan baru, sementara luas lahan tersedia untuk konversi dari hutan ke lahan pertanian sudah tidak memungkinkan.

Penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida buatan) tidak hanya berbahaya bagi kesehatan manusia tetapi juga menyebabkan kerusakan tanah yang berujung ke pada penurunan hasil produksi. Industi kimia pertanian juga tidak menguntungkan petani, karna sebagian besar industri ini dipegang oleh negara maju sehingga arus uang hanya mengalir dari satu arah yaitu dari petani di negara miskin ke industri di negara maju, sementara aliran uang dari penjualan produk pertanian dari negara maju ke negara berkembang hampir tidak karena ketatnya peraturan yang mereka buat (antara lain bebas pestisida). Jadi, mengapa kita harus menggunakan pestisida yang pembuatnya sendiri takut menggunakannya. Jawabannya rumit, tapi disini politik ikut bermain selain kepentingan ekonomi orang-orang tertentu

Tempe, masih amankah dikonsumsi?

by: Ikhsan hasibuan

Tempe menjadi makanan kita sehari-hari karena selain murah rasanya juga enak dan bergizi. Dengan mengkonsumsi tempe kita akan mendapat manfaat kesehatan karena tempe kaya akan serat, kalsium, vitamin B dan zat besi. Saya sama sekali tidak meragukan kehebatan gizi tempe namun saya akan lebih focus pada bahan baku pembuatan tempe.
Kedelai sebagai bahan baku utama tempe ternyata di impor sebanyak lebih dari 1 juta ton tiap tahunnya karna rendahnya produksi lokal yg hanya sekitar setengah juta ton per tahun. so, what's the problem? ternyata kedelai yg diimport adalah kedelai transgenik. transgenik adalah penambahan suatu gen tertentu kepada sel penerima, singkatnya dalam kedelai transgenik terdapat gen asing, misalnya dari bakteri tanah Bacillus thuringiensis (bt), dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan kedelai dari serangan hama. Kedelai jenis ini, disebut kedelai bt, bila bagian tubuhnya dimakan serangga maka serangga tersebut akan mati karna termakan juga bakteri bt yg ada di setiap sel tanaman kedelai tsb.
Bagaimana bila kita yg makan kedelainya? entah itu langsung atau telah menjadi tempe gen bt tetap mempunyai potensi membahayakan kesehatan. Hal yang mungkin terjadi adalah terjadinya reaksi antara sel di tubuh kita dengan sel yg mengandung bt yang dapat mengakibatkan mutasi gen (perubahan gen) dalam sel tubuh kita. contoh sederhana dari penyakit akibat mutasi gen adalah kanker.
Masih banyak lagi bahaya dari tanaman transgenik tidak hanya dari segi kesehatan tetapi juga bagi lingkungan, ekologi, ekonomi petani dan negara terkait ketergantungan terhadap benih transgenik.
So, apakah kita masih memilih tempe sebagai menu wajib kita? Jika ya sebisa mungkin cari tempe dari kedelai yg di produksi lokal cirinya biji kedelai lebih kecil dan kurang mengembang. Sebagai catatan di Amerika kedelai diproduksi bukan utk konsumsi manusia tetapi untuk konsumsi ternak dan bahan baku minyak bio diesel

Saturday, January 19, 2008

Fuel from crops

by. Ikhsan hasibuan

Nowadays, biofuel or fuel made from crop becomes popular as an alternative energy to replace natural gas. Some researches have been conducted to increase its energy content. This paper aimed to explain some kinds of biofuel and its energy content. Mainly there are two kinds of biofuel; ethanol which contain of 67% energy and biodiesel which contain of 86% energy.

  1. Corn ethanol, Nearly all the ethanol in the US is brewed from yellow feed corn. Proliferating ethanol distilleries are already competing for corn with meat producers, driving up prices. Most ethanol is sold as a gasoline additive or, in the Midwest, as E85 (85% ethanol, 15% gasoline). US can produce 4.86 billion gallons of corn ethanol in 2006 with production cost $1.09 per gallon. Fossil-fuel energy used to make the fuel compared with the energy in the fuel is 1:1.3. Corn ethanol produces 16.2 lbs/gallon of greenhouse gas emission from production and use.
  2. Cane ethanol
  3. Cellulosic ethanol
source: National Geography (Oktober 2007)

Biological control of weed

by Ikhsan hasibuan

weed is an unwanted plant that can be found on different ecosystem, there are in aquatic ecosystem, natural ecosystem and agricultural ecosystem. To control weed, it is better to know how a plant species developing into weed. Three stages of them are introduction of alien species, colonisation, and naturalisation. Introduction of alien species can be divided into two categories there are accidentally and consciously. When weed reproduce and maintenance of a local colony , it is known as colonisation and when it spreads dispersal widely and incorporation within the resident flora , it is called naturalisation. For this case, Cyperus esculentus and Hydrocotyle ranunculoides are good examples.

C. esculentus is an invasive weed, also known as yellow nutsedge or teki (Indonesian), that was accidentally introduced to Europe from the USA in early 1970's. This perennial weed is very hard to control since it has impurity in cormlets (bulbs) of gadiolus. It caused big damaged mainly on root-crop oriented agriculture. To limit its spreading, some legal measures should be done; farm hygiene for example obligation to clean farming equipment, zero-tolerance with regard to delivered produce, and ban on growing root crops such as potato or cassava.

H. ranunculoides or grote waternavel native from North America was introduced for the first time for use in garden ponts. Its fast growing and highly competitive characteristic threatens diversity by replacing other species. Controlling this species can be done by clearing of canals but it also needs high costs.

In Indonesia, Eichornia crassipes or water hyacinth or eceng gondok (Indonesian) was introduced from amazon river as ornamental plants. Nowadays, this plant makes big aquatic problem therefore links with eutrophication. Other weeds that have similar history are Opuntia cacti in Australia and Senecio jacobaea in Canada, USA and Australia.

Biological control for these weeds deliberate use of natural enemies and plant pathogens to reduce the population density of target plant species. It is also particularly relevant with invasive species that escaped from their natural enemies. For this, it needs to bring back weed's natural enemy through identification of enemies in the weed's native range and consecutive introduction as exotic control organism.

Cactoblastus cactorum was introduced from south America to control O. cacti in Australia. This insect had destroyed 90% of O. cacti eight years since it's first introduction. Neochetina eichornia and N. bruchi were natural enemies for E. crassipes introduced from South America. Caterpillar of Tyria jacobaeae can prevent generative reproduction of S. jacobaea.

Bahaya tanaman transgenik terhadap lingkungan

by: ikhsan hasibuan

Tanaman transgenik, misalnya kedelai tahan hama, kedelai tahan herbisida, jagung bt, kapas bt, mempunyai potensi besar untuk merusak lingkungan. Potensi ini terkait dengan adanya gen asing di dalam tubuh tanaman yang kemungkinan besar bila berinteraksi dengan lingkungan sekitar dapat menimbulkan perubahan ekologi, misalnya matinya serangga bukan hama, dan meningkatnya ketahanan gulma terhadap herbisida.

Para ahli pro transgenik berpendapat bahwa penggunaan tanaman transgenik mempunyai dampak positif yang besar bagi lingkungan dengan tidak digunakannya produk pestisida sehingga dengan demikian dapat menghindari polusi dan bahaya racun pestisida terhadap lingkungan. Apakah pendapat ini benar?

Resiko perubahan ekologi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu sifat tanaman, sistem ekologi, cara bertani dan peranan pemerintah dalam mengatur lingkungan. Hubungan antar faktor-faktor ini mempengaruhi perubahan lingkungan bila menggunakan tanaman transgenik.

1. Tanaman toleran herbisida
  • meningkatnya ketahanan gulma yang mempunyai hubungan dekat secara taksonomi dengan tanaman transgenik terhadap herbisida akibat adanya penyebaran gen. misalnya jagung dan rumput berasal dari family gramineae
  • berkembangnya gulma tahan herbisida melalui proses seleksi lingkungan
  • dampak negatif terhadap populasi hewan liar akibat berkurangnya sumber makanan di alam. gulma merupakan sumber makanan bagi banyak hewan liar.
2. Tanaman tahan hama
  • meningkatnya populasi serangga tahan insectisida
  • keracunan terhadap serangga non-target, serangga bermanfaat, dan mikro organisme tanah
3. Tanaman tahan virus
  • meningkatnya penyebaran penyakit terhadap tanaman sekerabat dengan tanaman transgenik akibat penyebaran gen
  • meningkatnya kemampuan virus untuk menyerang tanaman

Wednesday, January 16, 2008

Peluang dan Hambatan Pertanian Berkelanjutan

Oleh: Danner Sagala, SP

Sabtu, 24-Februari-2007, 10:00:14



SAYA sangat tertarik dan sekaligus setuju dengan apa yang dipaparkan Ikhsan Hasibuan di kolom opini harian ini pada edisi Selasa, 6 Februari 2007 Tentang Pertanian Organik. Saya menggunakan terminologi ''Pertanian Berkelanjutan'' adalah karena terminologi ini mencakup banyak istilah yang memiliki pengertian dan tujuan dari sistem-sistem pertanian yang sadar akan keamanan pangan dan pelestarian lingkungan.

Pupuk kimia dan pestisida kimia memang dapat meningkatkan produksi pertanian. Namun hal ini hanya berlangsung dalam jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang, bahan-bahan tersebut dapat menurunkan produksi pertanian. Baik secara kualitas maupun kuantitas.

Peningkatan input energi seperti pupuk kimia, pestisida maupun bahan kimia lainnya dalam pertanian tanpa melihat kompleksitas lingkungan, selain membutuhkan biaya usaha tani yang tinggi, juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang sering kali tidak terkendali akan dapat merusak tanah dan tolerannya hama dan penyakit jenis tertentu. Bahan kimia tersebut dapat tetap tinggal sebagai residu pada hasil tanaman. Hasil tanaman inilah yang selalu kita konsumsi. Kelihatannya mulus. Namun, mengandung bahan kimia yang berbahaya.


Peluang

Pertama. Dengan semakin meningkatnya kesadaran konsumen global dan nasional akan kualitas makanan dan lingkungan hidup, mau tidak mau mengharuskan produsen pertanian di Indonesia untuk menerapkan sistem produksi yang akrab lingkungan. Di kota-kota metropolis bisa dilihat bahwa sayuran organik yang ditawarkan di pasar modern seperti super market diminati oleh konsumen.

Salah satu contoh lagi adalah seperti yang dikemukakan oleh Sdr. Ikhsan Hasibuan dalam tulisannya bahwa di Kota Bengkulu sendiri sudah ada masyarakat yang konsen dengan sistem pertanian berkelanjutan ini. Yaitu petani yang tergabung dalam kelompok tani di sentra sayuran organik yang terletak di Tanah Patah, Bengkulu. Memang belum bisa dikatakan signifikan jumlah masyarakat konsumen yang memiliki kesadaran seperti itu. Namun, kecenderungan ini lebih baik kita gunakan sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk pertanian.

Kedua. Dalam era globalisasi perdagangan bebas, keberhasilan kita mengekspor produk hasil pertanian di pasar global sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk memenuhi persyaratan yang dituntut oleh konsumen global tentang label lingkungan atau ecolabeling. Salah satu bentuk ekolabel yang tersedia dan diakui oleh WTO adalah seri ISO 14000 mengenai pengelolaan lingkungan.

Sehingga dalam urusan pangan akan dilakukan standarisasi kualitas pangan yang menetapkan ambang batas maksimum kandungan zat tambahan, logam berat, residu pestisida, dan bahan pencemar lain dalam makanan. Ini merupakan salah satu persyaratan penting di samping persyaratan lain yang harus dipenuhi bila kita ingin berhasil menembus pasar global atau kita akan ketinggalan.Hal ini juga seharusnya menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kita untuk terus meningkatkan daya saing produk pertanian kita.

Hambatan

Tentu tidak semulus itu jalan yang akan kita tempuh. Masih banyaknya perbedaan persepsi diantara para ahli. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, LSM serta masyarakat tentang sistem pertanian ini merupakan salah satu hambatan. Banyak menganggap sistem pertanian sama dengan pertanian primitif, tradisional dan subsistem. Bagi penulis, tidak lagi penting apakah itu tergolong primitif atau modern. Kebutuhan akan pangan yang aman dan pelestarian lingkungan adalah hal yang lebih utama.

Hambatan kedua adalah, sejak dicanangkannya Pelita I hingga sekarang, pertanian di Indonesia masih berorientasi pemenuhan kebutuhan jangka pendek. Hal ini mendorong dengan sangat kuat petani untuk meningkatkan input berenergi tinggi. Seperti pupuk kimia dan pestisida kimia.

Yang tidak kalah penting adalah hambatan kepentingan bisnis. Sistem pertanian berkelanjutan yang berbasis lingkungan tentunya akan merubuhkan banyak produsen pupuk kimia, pestisida kimia dan bahan-bahan sintetis lainnya.

Perubahan paradigma pembangunan pertanian dari sistem bertani yang cenderung eksploitatif ke arah sistem bertani yang ramah lingkungan, berorientasi jangka pendek dan jangka panjang merupakan hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi demi kelangsungan kehidupan maupun kelestarian alam di masa yang akan datang.(**)

* Penulis adalah dosen Faperta Unihaz Bengkulu

dicopy dari www.harianrakyatbengkulu.com

Tuesday, January 15, 2008

HEMP

by: Ikhsan hasibuan

Hemp (Cannabalis sativa L.) is the plant for producing clothing, paper, household textiles, food, rigging, fishing nets, canvas and food. This crop has big potential to grow organically as an alternative to change cotton crop. Hemp has already cultivated many years ago as industrial crop to supply raw material for sail industry and textiles. But, production of hemp became decline because of decline of sailing industry and competing with cheaper alternatives fibers.

Nowadays, hemp returns as important fiber crop. Hemp requires little to no pesticides, replenishes soil with nutrients and nitrogen, considering how fast it grows. Furthermore, Hemp could be used to replace many potentially harmful products, such as tree paper.

Hemp has wide range of uses for example seeds, woods, and fibers. Its seed can be used for paint, lighting oil, soap, cosmetic, feed and food. Its woods are good for paper, animal bedding, practical boards and lignin. And the important part of this crop is fiber that can be made quality paper, building material, and textiles.

Fiber industry requires long, thin and strong fiber. For getting this aim, many good and deep researches are needed. Some issues that can be discussed such as what is the right time of harvesting, or should we prevent flowering to get good fiber quality?